Teori
perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik Erikson merupakan salah satu
teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund
Freud, Erikson mendapat posisi penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia
menjelaskan tahap perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia;
satu hal yang tidak dilakukan oleh Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak
berbicara dalam wilayah ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang membawa aspek
kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.
Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang
sangat selektif karena didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat
representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang
merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya
perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran
kehidupan, dan yang ketiga/terakhir
adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan
pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan
kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.
Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari
mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna
memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman
modern seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk
menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan,
baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan
kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat
bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang
diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang
post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada
masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan
yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia
sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka
di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak
menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan
kepribadian yang diajukan oleh Freud. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu
diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya
sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan
dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan
perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan
seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang
berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan
psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan dalam teori
psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan genital,
diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga dimasukkannya
cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk
oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumpsi
mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah
ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi
dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah
dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu
bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson
dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu :
(1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami
keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada
tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk
saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas. (2) Masyarakat, pada
prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap
individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha
menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam
tahap-tahap yang ada.
Dalam bukunya yang berjudul “Childhood
and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan
delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang
biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson
berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari
dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang
berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence” atau kemunculan.
Gambaran dari perkembangan cermin mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran
kehidupan sangat berkaitan dengan waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan
karena itu muncul , dan akan selalu terjadi pada setiap tahap perkembangan
hingga berakhir pada tahap dewasa, secara keseluruhan akan adanya
fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap itu sendiri.
Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga disertai
oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap
krisis adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah
sesuatu yang sangat vital dan bagian yang utuh dari teori Erikson, karena
pertumbuhan dan perkembangan antar personal dalam sebuah lingkungan tentang
suatu peningkatan dalam sebuah sikap yang mudah sekali terkena serangan
berdasarkan fungsi dari ego pada setiap tahap.
Erikson percaya “epigenetic
principle” akan mengalami kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas
dapat melihat krisis psikososial yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap
manusia yang sudah dilukiskan dalam bentuk sebuah gambar Di mana gambar tersebut memaparkan tentang
delapan tahap perkembangan yang pada umumnya dilalui dan dijalani oleh setiap
manusia secara hirarkri seperti anak tangga. Di dalam kotak yang bergaris
diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai adanya hal-hal yang bermuatan
positif dan negatif untuk setiap tahap secara berturut-turut. Periode untuk
tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan mengenai kondisi yang relatif berkaitan dengan
kesehatan psikososial dan cocok dengan sakit yang terjadi dalam kesehatan
manusia itu sendiri.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan berangkat dari teori
tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada
dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut dengan
menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui teori yang
dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of Psychosocial
Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat agar
teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud maupun teori
perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini berbicara
mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu
diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud
dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa.
Meminjam kata-kata Erikson melalui seorang penulis buku bahwa “apa saja
yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana dasar ini
muncullah bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing untuk
mekar, sampai semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang
berfungsi. Oleh karena itu, melalui delapan tahap perkembangan yang ada Erikson
ingin mengemukakan bahwa dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif
(adaptasi keliru) dan malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung
kalau satu tahap tidak berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan
baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif dan juga malignansi,
selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu berinteraksi dengan pola-pola
tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang terjadi serta ritualisme
yang berarti pola hubungan yang tidak menyenangkan. Menurut Erikson delapan
tahap perkembangan yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang teratur maupun
secara hirarkri, akan tetapi jika dalam tahap sebelumnya seseorang mengalami
ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap sesudahnya dapat
berlangsung kembali guna memperbaikinya.
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri
utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak
bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun
tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia
menurut Erikson adalah sebagai berikut :
Kedelapan
tahapan perkembangan kepribadian dapat digambarkan dalam tabel berikut ini :
Developmental
Stage
|
Basic
Components
|
Infancy (0-1 thn)
Early childhood (1-3 thn)
Preschool age (4-5 thn)
School age (6-11 thn)
Adolescence (12-10 thn)
Young adulthood ( 21-40 thn)
Adulthood (41-65 thn)
Senescence (+65 thn)
|
Trust vs Mistrust
Autonomy vs Shame, Doubt
Initiative vs Guilt
Industry vs Inferiority
Identity vs Identity Confusion
Intimacy vs Isolation
Generativity vs Stagnation
Ego Integrity vs Despair
|
- Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan
trust – mistrust. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak
mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya,
tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu
kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia
bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda
asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi
situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1
atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan
mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu
ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan
oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap
makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi)
dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang
secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih
kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi
dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan
dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman
untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling
menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang
diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui
pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri
dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan
mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya
dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada
bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada
hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi
memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa
tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna
tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun
akan menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini
dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan
pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat
padanya, dan akan memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang
seperti ini. Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi.
Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah
merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan
berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini
ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.
Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak
dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat
menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan
menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri
dengan baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan
harus percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan
maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap
saat.
Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan
antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat
mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam
diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau
segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih
dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan
manusia senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan pola-pola
tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami
ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai
sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik,
maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu,
Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar
bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh
penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya,
apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari
seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu
pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal
atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan
ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau
sebaliknya anak akan memuja orang
lain.
- Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai
adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas
tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan,
bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di
pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat,
sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot
(anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung
mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan
pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan
malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan
orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan
suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya
bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan
ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat
memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang
anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah
lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau
ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk
mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau
perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi
pada suatu tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk
mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain.
Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk,
maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat
menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang
gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah
karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak
sendirian.
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak
perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan
kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang
seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya
yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar
adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri
dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan
memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya
perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut
Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya
apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak
baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut
Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu
menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka
lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila
tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu
kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian
dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara keduanya
terdapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu
kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang
menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima
peraturan hukum dan kewajiban”.
Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini
yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini
anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah
dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut
sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat
penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila
orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga
anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut
Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa
rasa belas kasih.
- Inisiatif vs Kesalahan
Masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan initiative
– guilty. Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan
kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi
karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami
kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan
bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.
Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap kelamin-lokomotor
(genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada
suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan
tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya
gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain
merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap
tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa
memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan
sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat
mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan
ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada
masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang
berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya
mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap
menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang
keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan
namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai
mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai
sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan
jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan
disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada
pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa
bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition).
Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk
mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan
merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir
suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi
yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam
pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak
dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani.
Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan
oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu,
rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa
keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan
pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan
sebelumnya.
- Kerajinan vs Inferioritas
Masa Sekolah
(School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai
kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif
mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan
berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena
keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia
menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan
kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia
sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan
dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan
menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area
sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah,
sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong,
guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain
sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada
awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia
bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam
belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya
berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan
tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak
dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas),
sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu,
peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang
menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang
dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih
banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya
tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol
mereka. Kecenderungan maladaptif akan
tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana
peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain
jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi
yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred
Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian
tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan
mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap
sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan
begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap
pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap
sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan
mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada
aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal
dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu
mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai
dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak
akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku.
Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat.
Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.
- Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat
masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence)
ditandai adanya kecenderungan identity – Identity Confusion. Sebagai persiapan
ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang
dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri,
ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan
identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan
berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai
penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di
satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar
terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya mereka mengadakan pembagian
peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap peran yang diberikan kepada
masing-masing anggota
Pencapaian identitas pribadi dan
menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam
tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan
penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego,
dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan
bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap
ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan
masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini,
kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka
segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial
secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan
mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya
bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa
mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi
karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan
kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti
kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap
pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu,
salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya
berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak
tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah
pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion
atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat
dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit
ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya.
Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada
dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah
yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan
dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan
pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia
orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat
lain yang merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial
yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam
kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam
tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat
berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri
yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat
terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya.
Ritualisasi yang nampak dalam tahap adolesen ini dapat menumbuhkan
ediologi dan totalisme.
- Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu
akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia
sekitar 20-30 tahun. Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan
intimacy – isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang
kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai
longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya
dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan
untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang
akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang
lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan
dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan
istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan
orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain
mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi,
peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap
ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara
baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya
kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana
seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati
tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya
dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita
cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson
menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk
mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat,
selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari
kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus
berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam
konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk
perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang
dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga
hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya afiliasi dan
elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan
sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan
lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu
menaruh curiga terhadap orang lain.
- Generativitas vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati
oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Masa Dewasa
(Adulthood) ditandai adanya kecenderungan generativity-stagnation. Sesuai
dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari
perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup
banyak, sehingga perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan
kecakapan individu sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala
macam ilmu dan kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas.
Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.
Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas
untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai
ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu
(generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah
perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi
yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap
memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata
stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan
dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga
mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi
yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik
dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya
ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan
antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat
dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan
otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara
baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan
para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa
memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta
memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga
hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan
baik dan menyenangkan.
- Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang
diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Masa hari
tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego integrity – despair. Pada
masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang
telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah
mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia
masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi
karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai.
Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi
masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan
dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali menghantuinya
Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup
berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja
ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan.
Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian
orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya,
karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau
tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang
berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang
memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti
menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang
jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap
datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih
kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptif yang
biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi
kesulitan dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan
lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut
dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah
dan menyesali kehidupan sendiri. Oleh karena itu, keseimbangan antara
integritas dan kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna
memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar