Tingkat
kepuasan perkawinan berubah seiring berjalannya waktu. Beberapa
penelitian yang dilakukan oleh Rollins & Cannon, 1974; Rollins &
Feldman, 1970; Spanier, Lewis, & Cole, 1975 menyimpulkan suatu
indikasi kepuasan pernikahan dalam kehidupan pernikahan mengikuti kurva
U. Tingkat kepuasan tertinggi dirasakan pada periode sebelum memiliki
anak, tingkat kepuasan terendah dirasakan pada saat anak-anak berada
pada usia sekolah dan remaja, lalu tingkat kepuasan tertinggi sekali
lagi dirasakan pada saat anak-anak telah tumbuh dewasa dan telah
meninggalkan rumah (Bradburry & Fincham dan Gottman dalam Fuller
& Fincham dalam L’Abate, 1975).
Duvall
& Miller (1985) menyebutkan bahwa masa-masa awal dari perkawinan
adalah puncak dari kepuasan perkawinan. Beragamnya pendapat yang
dikemukakan oleh masing-masing ahli memberikan suatu gambaran tidak
adanya tingkat kepuasan perkawinan absolut yang mengesankan pada beragam
periode perkawinan (Fuller & Fincham dalam L’Abate, 1975).
Menurut
Papalia, Sterns, Feldman dan Camp (2002) tanggung jawab sebagai
orangtua mempengaruhi hubungan suami-istri. Saat ini, dengan
meningkatnya harapan hidup dan perceraian, sekitar 1 dari 5 pernikahan
bertahan hingga 50 tahun.
Secara
umum, kepuasan pernikahan mengikuti kurva bentuk U. Dari point yang
tinggi di awal, menurun hingga usia tengah baya dan kemudian meningkat
lagi pada tahap pertama dewasa akhir. Masa yang paling tidak
membahagiakan adalah periode dimana sebagian besar orangtua dilibatkan
secara menyeluruh dalam membesarkan anak dan karir. Aspek positif dari
pernikahan (seperti kerjasama, diskusi, dan berbagi tawa) mengikuti pola
kurva U. Aspek negatif (seperti sarkasme, kemarahan, dan
ketidaksetujuan terhadap masalah-masalah penting) berkurang dari dewasa
muda hingga usia 69 tahunan dan mungkin karena banyak konflik
pernikahan berakhir begitu saja (Papalia, Sterns, Feldman dan Camp
2002).
Dari
sebuah penelitian 175 orang, yang mengkonfirmasi kurva bentuk U,
peneliti mengikuti 22 pasangan selama 30 tahun dan yang lainnya dalam
jangka waktu yang lebih pendek. Penemuan yang menarik adalah, semakin
lama pasangan menikah, semakin mirip mereka satu sama lain, dalam
pandangan mereka terhadap kehidupan, dan cara berpikir, bahkan kemampuan
matematika. Kecendrungan terhadap kemiripan ini terhenti sementara
dengan menurunnya kepuasan pernikahan di masa membesarkan anak. Dalam
penelitian lain terhadap 17 pernikahan yang bertahan selama 50 hingga 69
tahun, hampir ¾ yang digambarkan, berdasarkan observasi dan wawancara
selama 50 tahun, mengikuti salah satu dari 2 pola ini : mengikuti kurva U
atau tingkat kebahagiaan yang hampir konsisten. Tidak ada dari
pernikahan yang diteliti menunjukkan kenaikan atau penurunan yang
berkelanjutan dalam kepuasan (Papalia, Sterns, Feldman dan Camp 2002).
Awal perkawinan
Bagi
sebagian besar pasangan, saat anak hadir, maka bulan madu pun berakhir.
Dalam penelitian longitudinal yang dilakukan selama 10 tahun bagi
pasangan kulit putih yang menikah di usia akhir 20-an mereka, baik suami
maupun istri melaporkan penurunan kepuasan yang tajam selama 4 tahun
pertama, diikuti oleh masa stabil dan kemudian penurunan lainnya.
Pasangan yang memiliki anak, terutama mereka yang menjadi orangtua di
awal penikahan mereka dan mereka yang memiliki banyak anak menunjukkan
penurunan yang lebih curam.
Ada
beberapa hal yang membedakan pernikahan yang memburuk atau membaik
setelah parenthood. Pada pernikahan yang memburuk, menurut salah satu
penelitian, pasangan lebih muda dan kurang terpelajar, memiliki
pemasukan yang lebih sedikit, dan telah menikah untuk waktu yang lebih
singkat. Salah satu atau kedua pasangan cenderung memiliki self esteem
yang rendah, dan suami biasanya kurang sensitif. Ibu yang memiliki waktu
tersulit adalah mereka yang memiliki bayi dengan temperamen sulit. Yang
mengejutkan, pasangan yang paling romantis sebelum memiliki bayi
cenderung memiliki lebih banyak masalah setelah memiliki bayi, mungkin
karena mereka memiliki harapan yang tidak realistik. Wanita yang
merencanakan kehamilan mereka cenderung menjadi kurang bahagia, mungkin
karena mereka mengharapkan hidup dengan bayi lebih baik dari apa yang
sesungguhnya terjadi.
Seseorang
biasanya melanggar pengharapan yang melibatkan pembagian tugas. Jika
pasangan membagi tugas sama rata sebelum bayi lahir dan kemudian,
setelah bayi lahir, beban dialihkan ke istri, kebahagiaan pernikahan
cenderung menurun terutama untuk istri nontradisional.
Pertengahan perkawinan
Kurva
U mencapai dasar selama bagian awal dari tahun pertengahan, saat banyak
pasangan memiliki anak remaja. Masalah identitas dari tengah hidup
muncul untuk mempengaruhi perasaan istri tentang pernikahan mereka;
wanita menjadi kurang puas dengan pernikahan mereka. Wanita menjadi
kurang puas dengan pernikahan sebagaimana membesarkan anak membuat lebih
sedikit permintaan dan perasaan mereka tentang kekuatan personal dan
autonomi meningkat.
Komunikasi
diantara pasangan seringnya dapat mengurangi stres yang disebabkan oleh
tanda-tanda fisik dari penuaan, hilangnya dorongan seksual, perubahan
dalam status atau kepuasan kerja, dan kematian orangtua, saudara, atau
teman dekat. Banyak pasangan melaporkan bahwa saat-saat sulit membuat
mereka lebih dekat satu sama lain.
Dalam
pernikahan yang baik, keberangkatan dari anak yang telah dewasa dapat
menghantar kepada ” bulan madu kedua”. Pada pernikahan yang goyah,
melalui ’empty nest’ dapat membuat krisis personal dan pernikahan.
Dengan perginya anak-anak, pasangan mungkin menyadari bahwa mereka tidak
lagi memiliki banyak kesamaan dan mungkin bertanya pada diri mereka
sendiri apakah mereka mau menghabiskan sisa hidup mereka bersama.
Akhir perkawinan
Dibandingkan
pasangan tengah tahun, pasangan berusia 60-an lebih sering menyebutkan
bahwa pernikahaan mereka memuaskan. Banyak yang berkata bahwa pernikahan
telah meningkat seiring dengan berlalunya tahun. Pasangan yang tetap
bersama di akhir hidup mereka biasanya telah mengatasi perbedaan mereka
dan tiba pada akomodasi yang sama-sama memuaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar