Tak selamanya bertengkar itu berefek negatif. Sebuah studi terbaru
menunjukkan, bertengkar itu justru baik bagi kesehatan bila dilakukan
untuk alasan yang tepat.
Penelitian yang dilakukan Institute for Social Research di Universitas Michigan Amerika Serikat menunjukkan, ketika orang mengalami ketegangan dengan orang lain, entah itu dengan bos, pasangan atau anak, menghindari konfrontasi justru berakibat buruk bagi kesehatan mereka. Menghindari konflik dapat dikaitkan dengan problem fisik pada hari berikutnya dibanding pertengkaran di hari itu.
Sengaja menghindar dari pertengkaran juga dikaitkan dengan hormon stres atau kortisol yang naik turun secara tidak normal sepanjang hari.
"Hubungan memiliki pengaruh penting pada bagaimana kita merasa setiap hari, terutama masalah dalam hubungan kita. Bagaimana kita menangani masalah kita sehari-hari mempengaruhi kesejahteraan," kata Kira Birditt, peneliti yang mempublikasikan temuannya dalam Konvensi Tahunan Asosiasi Psikologi Amerika ke 118 pada 12 Agustus kemarin.
Riset sebelumnya menunjukkan, pasangan yang menikah dan menghindari pertengkaran kemungkinan meninggal lebih cepat dibanding pasangan yang lebih ekspresif. Studi lain menemukan, mengekspresikan kemarahan berperan dalam rasa kontrol dan optimisme yang tidak hadir pada mereka yang menanggapi pertengkaran itu dengan cara menakutkan.
Melawan atau diam
Dalam penelitiannya, Birditt dan timnya menemukan bahwa cara paling umum yang dilakukan orang-orang untuk menangani masalah-masalah interpersonal adalah menghindarinya. Para peneliti lalu mencoba mengungkap dampak kesehatan dari perilaku menghindar tersebut.
Dalam risetnya, peneliti menganalisis data 1.842 orang dewasa usia 33-84 yang ikut ambil bagian dalam studi bertajuk 'Nation Study of Daily Experiences'.
Sekali dalam sepekan, para peserta diminta mencatat apakah mereka terlibat pertengkaran atau pernah mengalami situasi di mana mereka berdebat tetapi memutuskan untuk membiarkannya berlalu tanpa perlawanan. Selain itu, peserta diharuskan memberi sampel air liur selama empat hari.
Hasilnya, sebanyak 62 persen mengatakan mereka mengesampingkan pertengkaran pada beberapa kejadian selama penelitian berlangsung. Sementara, 41 persen dilaporkan terlibat konflik dan sisanya 27 persen peserta tak mengalami tekanan.
Beberapa jenis tekanan yang dialami (apakah dihindari atau tidak) dilaporkan lebih merupakan emosi negatif, seperti rasa kesal atau marah, dan gejala fisik, termasuk mual atau sakit dan nyeri, ketimbang mereka yang tak mengalami konflik selama delapan hari. Meski demikian, menurut Birditt menghindari pertengkaran dikaitkan dengan memiliki gejala problem fisik di kemudian hari.
Stres
Menghindari pertengkaran juga dihubungkan dengan pola harian hormon kortisol yang menjadi tidak biasa. Biasanya, hormon kortisol seseorang mengalami puncaknya setelah bangun pagi, kemudian hormon stres menurun sepanjang hari.
Namun, pada orang-orang yang menghindari pertengkaran, hormon kortisol mereka mengalami peningkatan tajam di pagi hari dan penurunan hormon kortisolnya melambat. "Mereka(menghindari pertengkaran) tidak bisa merasa tenang seharian," kata Birditt.
Menariknya, para mereka yang bertengkar terlihat hormon kortisolnya merendah di pagi hari. Ini mungkin karena "Orang-orang yang sering bertengkar dan mengalami stres seiring dengan berjalannya waktu menjadi kurang reaktif terhadap tekanan," kata Birditt.
Pada dasarnya, mereka yang sering bertengkar kerap melepaskan tekanan secara teratur. Sedangkan mereka yang jarang bertengkar kerap memedam emosinya sehingga seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Penelitian yang dilakukan Institute for Social Research di Universitas Michigan Amerika Serikat menunjukkan, ketika orang mengalami ketegangan dengan orang lain, entah itu dengan bos, pasangan atau anak, menghindari konfrontasi justru berakibat buruk bagi kesehatan mereka. Menghindari konflik dapat dikaitkan dengan problem fisik pada hari berikutnya dibanding pertengkaran di hari itu.
Sengaja menghindar dari pertengkaran juga dikaitkan dengan hormon stres atau kortisol yang naik turun secara tidak normal sepanjang hari.
"Hubungan memiliki pengaruh penting pada bagaimana kita merasa setiap hari, terutama masalah dalam hubungan kita. Bagaimana kita menangani masalah kita sehari-hari mempengaruhi kesejahteraan," kata Kira Birditt, peneliti yang mempublikasikan temuannya dalam Konvensi Tahunan Asosiasi Psikologi Amerika ke 118 pada 12 Agustus kemarin.
Riset sebelumnya menunjukkan, pasangan yang menikah dan menghindari pertengkaran kemungkinan meninggal lebih cepat dibanding pasangan yang lebih ekspresif. Studi lain menemukan, mengekspresikan kemarahan berperan dalam rasa kontrol dan optimisme yang tidak hadir pada mereka yang menanggapi pertengkaran itu dengan cara menakutkan.
Melawan atau diam
Dalam penelitiannya, Birditt dan timnya menemukan bahwa cara paling umum yang dilakukan orang-orang untuk menangani masalah-masalah interpersonal adalah menghindarinya. Para peneliti lalu mencoba mengungkap dampak kesehatan dari perilaku menghindar tersebut.
Dalam risetnya, peneliti menganalisis data 1.842 orang dewasa usia 33-84 yang ikut ambil bagian dalam studi bertajuk 'Nation Study of Daily Experiences'.
Sekali dalam sepekan, para peserta diminta mencatat apakah mereka terlibat pertengkaran atau pernah mengalami situasi di mana mereka berdebat tetapi memutuskan untuk membiarkannya berlalu tanpa perlawanan. Selain itu, peserta diharuskan memberi sampel air liur selama empat hari.
Hasilnya, sebanyak 62 persen mengatakan mereka mengesampingkan pertengkaran pada beberapa kejadian selama penelitian berlangsung. Sementara, 41 persen dilaporkan terlibat konflik dan sisanya 27 persen peserta tak mengalami tekanan.
Beberapa jenis tekanan yang dialami (apakah dihindari atau tidak) dilaporkan lebih merupakan emosi negatif, seperti rasa kesal atau marah, dan gejala fisik, termasuk mual atau sakit dan nyeri, ketimbang mereka yang tak mengalami konflik selama delapan hari. Meski demikian, menurut Birditt menghindari pertengkaran dikaitkan dengan memiliki gejala problem fisik di kemudian hari.
Stres
Menghindari pertengkaran juga dihubungkan dengan pola harian hormon kortisol yang menjadi tidak biasa. Biasanya, hormon kortisol seseorang mengalami puncaknya setelah bangun pagi, kemudian hormon stres menurun sepanjang hari.
Namun, pada orang-orang yang menghindari pertengkaran, hormon kortisol mereka mengalami peningkatan tajam di pagi hari dan penurunan hormon kortisolnya melambat. "Mereka(menghindari pertengkaran) tidak bisa merasa tenang seharian," kata Birditt.
Menariknya, para mereka yang bertengkar terlihat hormon kortisolnya merendah di pagi hari. Ini mungkin karena "Orang-orang yang sering bertengkar dan mengalami stres seiring dengan berjalannya waktu menjadi kurang reaktif terhadap tekanan," kata Birditt.
Pada dasarnya, mereka yang sering bertengkar kerap melepaskan tekanan secara teratur. Sedangkan mereka yang jarang bertengkar kerap memedam emosinya sehingga seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar